Berita  

Belasan Advokat Pasang Badan Kawal Kepala Desa Situ Gede: Wartawan Tantang Duel, Etika Pers Dipertaruhkan!

Kepala Desa Situ Gede, Dedi Suryadi

Pojokgarut.com –- Drama tak biasa menggemparkan Karangpawitan, Garut. Bukan soal proyek desa atau politik uang, tapi soal tantangan duel fisik yang dilayangkan seorang oknum wartawan kepada Kepala Desa Situ Gede, Dedi Suryadi. Peristiwa ini tak hanya mencoreng dunia pers, tapi juga menyingkap wajah kelam sebagian oknum media yang kian jauh dari nilai etik jurnalistik.

Awalnya, semua berjalan normal. Hendra Irawan, yang mengaku sebagai wartawan dari media online Jejak Kriminal, datang ke kantor Desa Situ Gede pada Senin (27/10/2025) untuk mewawancarai Dedi terkait penggunaan 20 persen Dana Desa dalam program ketahanan pangan. Dedi, sebagai kepala desa yang terbuka terhadap transparansi, menyambut baik kedatangannya.

Namun, suasana berubah drastis ketika pertanyaan Hendra mulai bernada menekan. Alih-alih menggali informasi, Dedi merasa seperti sedang diinterogasi.

“Saya menghormati kerja jurnalis, saya tahu amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tapi kebebasan pers bukan berarti bisa menekan dan menuduh narasumber untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukan,” ujar Dedi dengan nada kecewa.

Merasa situasi tidak sehat, Dedi menghentikan wawancara tersebut. Tapi bukannya selesai, bara justru menyala. Beberapa jam kemudian, Dedi mengaku menerima telepon ancaman dan tantangan duel fisik dari seseorang bernama Roni, yang disebut sebagai atasan Hendra sekaligus Kepala Wilayah Jawa Barat media Jejak Kriminal.

“Dia menantang saya duel satu lawan satu di Bunderan Suci. Katanya, kalau saya merasa benar, ayo buktikan di lapangan,” ungkap Dedi.

Dengan niat menenangkan suasana, Dedi mendatangi lokasi sesuai ajakan. Sekitar pukul 12.30 WIB, keduanya bertemu di kawasan Bunderan Suci. Namun, bukannya mediasi, tensi malah meningkat.

Saksi mata, M. Suyetno (62), mengatakan bahwa Roni datang sendiri dan langsung menantang Dedi untuk melepas seragam kepala desa agar duel tak “membawa jabatan.” Dedi mencoba menahan diri, tapi provokasi terus dilontarkan.

“Saya tidak mau meladeni hal yang tidak pantas. Tapi kalau mau adu fisik, ayo di Octagon Baja Fighting, biar konteksnya olahraga, bukan amukan jalanan,” sindir Dedi menanggapi.

Usulan Dedi ditolak. Pertemuan itu pun berakhir tanpa bentrokan, namun cerita ini keburu menyebar cepat di media sosial dan menjadi bahan perbincangan publik Garut.

Tak tinggal diam, belasan advokat di Garut kini siap mengawal Kepala Desa Situ Gede. Sedikitnya 13 pengacara dari berbagai organisasi hukum menyatakan solidaritas untuk membela Dedi dari dugaan intimidasi dan ancaman yang dilakukan pihak media Jejak Kriminal.

Salah satunya adalah Firman Syaeful Rohman, S.H., Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Garut.

“Kalau benar ada unsur intimidasi atau pemerasan, itu bukan kerja jurnalistik. Itu tindak pidana. Harus dilaporkan ke aparat penegak hukum, dan medianya wajib dipanggil Dewan Pers,” tegas Firman.

Firman menilai kasus ini mencerminkan bahaya nyata dari menjamurnya “media tanpa standar.” Banyak oknum menggunakan kartu pers bukan untuk menegakkan kebenaran, tapi sebagai alat tekanan demi keuntungan pribadi.

Sikap senada datang dari Asep Rahmat Permana, S.H.I., S.H., advokat dari PERADI SAI sekaligus Ketua Ormas GRIB JAYA Garut. Ia menyebut fenomena wartawan instan kini sudah di titik mengkhawatirkan.

“Sekarang jadi wartawan gampang banget. Cukup punya ID Card, bisa wawancara siapa pun tanpa tahu kode etik. Kalau perlu, saya sendiri yang turun tangan karena saya legal partner Desa Situ Gede,” tegas Asep dengan nada geram.

“Kami tidak anti media. Tapi wartawan sejati harus menjunjung tinggi kode etik. Jangan sampai profesi mulia ini dicoreng oleh oknum yang hanya mengejar sensasi,” ujarnya.

Di masyarakat, kasus ini jadi perbincangan hangat. Banyak yang menilai, tindakan menantang duel terhadap pejabat publik bukanlah sikap profesional, apalagi datang dari insan pers. Dunia jurnalisme seharusnya menjadi penegak nilai intelektual, bukan arena adu otot.

Beberapa warga bahkan menyayangkan perilaku oknum wartawan tersebut. “Wartawan itu seharusnya berani dengan pena, bukan dengan tangan,” ujar salah satu warga Situ Gede yang enggan disebut namanya.

Kini publik menunggu langkah hukum selanjutnya. Apakah kasus ini akan berakhir dengan mediasi damai atau bergulir ke jalur pidana dan Dewan Pers, masih menjadi tanda tanya.

Yang jelas, peristiwa ini telah membuka mata banyak pihak: bahwa profesi jurnalis dan pejabat publik sama-sama punya tanggung jawab moral  menjaga marwah, menegakkan etika, dan menahan ego. Sebab, tanpa itu semua, kepercayaan publik bisa runtuh hanya karena satu tindakan impulsif yang mencoreng nama baik seluruh profesi.

Kasus Kepala Desa Situ Gede bukan sekadar tentang duel atau ego pribadi. Ini tentang harkat pers, integritas hukum, dan martabat jabatan publik.

Garut kini menanti, siapa yang benar-benar membela kebenaran, dan siapa yang hanya bermain di balik nama kebebasan pers.(**)