Pojokgarut.com – Gelombang aspirasi dari para pendidik madrasah swasta kembali mengemuka. Di bawah payung organisasi Aliansi Guru Swasta Kemenag, yang terdiri dari PGIN (Perkumpulan Guru Inpasing Nasional), PGMM (Persatuan Guru Madrasah Mandiri), dan sejumlah organisasi pendidikan lainnya, ratusan guru honorer menggelar aksi damai besar-besaran pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Aksi tersebut digelar di dua titik strategis: Gedung DPR RI, khususnya Komisi VIII yang membidangi pendidikan keagamaan, dan dilanjutkan ke Istana Negara Jakarta sebagai bentuk desakan moral kepada pemerintah agar mendengar langsung jeritan para pendidik honorer madrasah swasta.
Para guru honorer madrasah swasta merasa selama ini mereka berada di garis belakang dalam hal kesejahteraan dan pengakuan status. Sementara guru-guru di bawah naungan P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) telah menikmati gaji yang layak serta tunjangan yang memadai, ribuan guru madrasah swasta masih hidup dalam bayang-bayang ketimpangan.
“Bayangkan, masih ada guru yang digaji hanya Rp200.000 per bulan. Padahal mereka mengajar dengan dedikasi tinggi, menanamkan nilai-nilai agama, akhlak, dan moral anak bangsa,” ujar Ujang Ahmad, guru sekaligus tokoh pendidikan dari MTs Nurul Falah Sukaresmi.
Menurutnya, kondisi ini menjadi pemantik utama munculnya Gerakan Guru Bersatu 30 Oktober 2025, sebuah wadah perjuangan moral untuk menuntut hak dan kesejahteraan yang sama tanpa diskriminasi antara guru negeri, P3K, dan guru swasta di bawah Kementerian Agama.
Dalam aksi ini, ribuan guru akan mendatangi Gedung DPR RI di Senayan, menyampaikan langsung aspirasi mereka kepada Komisi VIII DPR RI yang selama ini menjadi mitra kerja Kementerian Agama. Dari sana, massa akan melanjutkan langkah menuju Istana Negara, meminta Presiden agar membuka ruang dialog terbuka bagi para guru madrasah swasta.
“Kami datang bukan untuk melawan, tapi menagih janji keadilan. Kami ingin pemerintah mengakui perjuangan kami dengan memberikan hak yang setara,” tutur Asep Akasah, salah satu guru madrasah yang juga akan turun ke jalan.
Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal nominal gaji, melainkan pengakuan martabat dan kesetaraan profesi. “Kami tidak mau lagi disebut guru kelas dua. Kami juga pendidik bangsa, kami juga mendidik anak-anak negeri ini agar berakhlak dan berilmu,” tambah Dede Irmawan, mantan pengajar MTs Nurul Falah yang kini aktif dalam jaringan advokasi guru madrasah.
Para guru menegaskan, jika tuntutan mereka tidak juga direspons oleh pemerintah, perjuangan ini tidak akan berhenti di Jakarta. “Kami akan terus bergerak sampai ada perubahan nyata. Kami ingin ada regulasi yang jelas, ada keadilan dalam sistem penggajian, dan ada kepastian karier bagi guru madrasah swasta,” kata Encep, salah satu perwakilan dari PGIN.
Aksi ini menjadi simbol bahwa guru bukan hanya pengajar, tapi juga pejuang nurani. Mereka menuntut agar profesi guru tanpa memandang status negeri, P3K, atau swasta —dihormati dan disejahterakan secara setara.
Dukungan terhadap aksi ini juga datang dari berbagai daerah, termasuk Garut, Jawa Barat. Para guru madrasah seperti dari MTs Nurul Falah Sukaresmi menegaskan akan mengirimkan perwakilan mereka untuk bergabung dalam aksi nasional tersebut.
“Kami hanya ingin pemerintah melihat kami. Kami juga ingin anak-anak yang kami ajar bisa menatap masa depan dengan guru yang tidak resah memikirkan nasibnya sendiri,” pungkas Ujang Ahmad penuh haru.
Gerakan Guru Bersatu 30 Oktober 2025 bukan sekadar unjuk rasa, melainkan seruan moral dari ruang-ruang kelas yang sunyi dari guru-guru yang terus mengabdi meski tak sejahtera. Kini mereka menuntut satu hal sederhana namun bermakna besar:
Kesetaraan, keadilan, dan pengakuan bahwa guru madrasah juga pilar bangsa.(**)












